Dalam buku
Hidroponik : bercocok tanam tanpa tanah, bertanam secara hidroponik sudah
dimulai sejak ribuan tahun lalu, seperti taman gantung di Babilon dan taman
terapung di Cina. Selain itu ada pula cerita dari Mesir, India dan Cina bahwa
manuisia purba sudah sering menggunakan larutan pupuk organik memupuk sayuran
dalam bedengan pasir di tepi sungai yang kemudian disebut river bed cultivation. Ketika ahli patologis tanaman menggunakan
nutrien khusus untuk media tanam muncullah istilah nutri culture kemudian water
culture, solution culture dan gravel bed culture untuk menyebut hasil
percobaan mereka yang menanam tanam menggunakan media tanah. Hingga akhirnya
pada tahun 1936 lahir istilah hidroponik yang diberikan untuk hasil dari DR.
WF. Gericke, seorang agronomis dari Universitas California, USA, berupa tanaman
tomat setinggi 3 m yang penuh dengan buah dan ditanam dalam bak berisi mineral
hasil uji cobanya.
Penemuan
Greicke menjadi sebuah sensasi pada saat itu, dimana foto dan riwayat kerjanya
menjadi headline surat kabar, bahkan
ia sempat dinobatkan menjadi orang berjasa abad 20. Sejak saat itu hidroponik
tak lagi terbatas dalam skala laboratorium, dengan teknik sederhana dapat
diterapkan siapa saja, termasuk ibu rumah tangga. Jepang yang kalah dari sekutu
dan tanahnya yang menjadi tandus akibat bom atom, pada tahun 1950 secara gencar
menerapkan hidroponik. Begitu pula negara-negara gersang penghasil minyak turut
menerapkan hidroponik.
Itulah
sejarah hidroponik yang saat ini menjadi trending
topic solusi keterbatasan luas lahan subur
yang didengung-dengungkan saat ini yang ternyata sudah ada sejak ribuan tahun
lalu. Alasan utama hidroponik dikembangkan adalah kebutuhan pangan meningkat,
luas lahan subur pertanian semakin menurun akibat berbagai masalah seperti alih fungsi lahan sebagai pemukiman,
terjadi bencana sehingga lahan menjadi tandus atau tergenang dan lain
sebagainya. Selain itu saat ini sedang digalakkan pertanian berkelanjutan yang
ramah dan aman bagi manusia dan lingkungan. Tapi bagaimana dengan pabrik,
apartemen, perumahan, mall, dan jalanan aspal yang sudah berdesakan melenyapkan
tanah? Menanam dimana dengan keadaan seperti itu? Apalagi tuntutan pertanian
berkelanjutan? Untuk orang desa yang punya banyak lahan, mudah sekali melakukan
kegiatan bertanam, tetapi bagaimana dengan orang kota yang perlu makan tapi
tidak ada lahan? Hidroponik muncul sebagai solusi. Tanamlah sayuran dengan cara
hidroponik di rumah atau kantor orang-orang kota. Bisa dijendela, balkon,
garasi atau tempat sempit lain yang masih bisa mendapatkan cahaya matahari
cukup. Jika tidak, gunakan apa yang telah dilakukan petani Jepang, menanam
dalam ruangan dengan bantuan lampu. Tetapi hal tersebut kurang efisien untuk
lingkup rumah tangga. Dengan bermodal paralon atau kotak perkakas, aerator,
larutan nutrisi dan benih, orang-orang kota dapat menikmati sayur dari rumah
mereka sendiri. Bukan hanya orang kota, semua orang juga bisa melakukannya.
Seperti halnya urban farming, hidroponik jauh dari kata berkotor-kotor bahkan
saat memanen sayur kita bisa menggunakan kemeja, berdasi dan jas licin seperti
orang yang mau ke kantor, sehingga orang kota tak perlu malu menjadi petani.
Dengan demikian petani bukan lagi identik dengan baju lusuh penuh lumpur,
tetapi menjadi petani berdasi. Jualannya pun bisa secara online. Kalau seperti
itu bisa dibilang petani modern kan? Jangan tertawa dengan argumen itu,
bukankah di dunia maya tersedia berbagai kebutuhan? Kenapa tidak dengan produk
pertanian?
0 komentar:
Posting Komentar